Sisi lain yang harus
mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi
puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya.
Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya
tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barang siapa yang tidak
meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak
akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak
membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:
إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم ودع أذى الجار, وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء
“Seandainya kamu berpuasa
maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa
dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga.
Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan
hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif,
karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang yang menahan lisannya
dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika
berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih
baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan
sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah
realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan
kemaksiatan.
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah
ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan
meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan,
“Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan
dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski
dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”
Oleh sebab itu para ulama
merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal
yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali
bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari
hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan,
minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar
menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada
hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan
maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut
menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang
berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan
seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan
tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang
zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan
lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar