Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah,
seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari
Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal
kepada-Nya.”
Oleh karena itu, salah satu
teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin
al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak
enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini
dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan
salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menambahkan,
bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan
dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika
beramal dan setelah beramal:
a. Adapun perkara yang
dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah
dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan
amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat
bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah
pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan
seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan rasa tawakal
kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk
menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa
lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan
sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita
juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan
dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua
merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah
dalam menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk
senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita
adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang
lemah:
وخلق الإنسان ضعيفا
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
b. Di saat mengerjakan
amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas
dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua
hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi
Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya:
Firman Allah ta’ala,
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“Padahal mereka tidaklah
diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
c. Usai beramal, seorang
hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia
dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian)
kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila
seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka
dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan
betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik
akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi
amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan
begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan
suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan
terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan
sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri)
yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat
terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak
terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan
dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya
berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri
serta amalannya.
Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:
فبما أغويتني لأقعدن لهم صراطك المستقيم. ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم
“Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar