Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
(QS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk
senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang
terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan,
كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap keturunan Adam itu
banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang
bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al
Hilal)
Dosa hanya akan
mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa
untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari
segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat
dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa
Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad
Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada
Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi
taufik kepadanya kembali.
Taubat nasuha atau taubat
yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari
seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah
taubat yang memenuhi empat syarat:
-
Meninggalkan maksiat.
-
Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
-
Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
-
Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada suatu kesalahan yang
harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat
dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan
Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat
maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di
bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul
fitri.
Ini merupakan suatu bentuk
kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam
Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar